Pada hakikatnya, manusia terlahir sebagai makhluk pribadi dan sosial. Dalam
menjalankan perannya sebagai makhluk sosial, manusia harus berinteraksi dengan
manusia lain. Interaksi ini tentunya tidak selalu berjalan mulus seperti yang
diinginkan. Karena friksi tujuan dan harapan, seringkali menimbulkan riak-riak
kecil yang kadangkala berubah menjadi ombak besar sehingga bisa memperkeruh
suasana hati dan sulit dijernihkan lagi seperti sediakala.
"Aku
memaafkanmu". Ini teramat mudah diucapkan di ujung bibir, namun sangat susah
dikukuhkan dalam hati. Sulit sekali memaafkan orang yang telah menzalimi kita.
Bahkan kadang-kadang kita malah ingin melihat orang itu merasakan hal yang sama.
Astaghfirullah, apakah kita pernah seperti itu? Jika pernah, sekali-kali jangan
pernah terulangi lagi dan jangan pula mendoakan hal yang buruk padanya. Goresan
luka memang meninggalkan bekas, akan tetapi bukankah sakitnya cuma sebentar? Apa
keuntungan yang kita peroleh dengan mengungkit-ungkit kesalahan yang telah
berlalu?
Adalah Ali bin Abi Thalib r.a. yang gagah berani, sepupu
Rasulullah SAW yang tangguh bagai singa dalam peperangan ini ternyata memiliki
hati yang lembut dan sangat pemaaf. Ketika Abdurrahman bin Muljam -yang
menyebabkan kepalanya luka parah dan akhirnya menghantarkannya ke ajal- berhasil
ditangkap dan dihadapkan kepadanya, Ali melihat dendam dan kebencian di mata
Hasan dan Husain r.a., kedua putranya serta karib kerabatnya. Tahukah kita apa
yang diucapkannya saat itu,
"Perlakukanlah ia dengan sebaik-baiknya.
Hormati martabatnya sebagai manusia. Kalau aku masih hidup, maka akulah yang
lebih berhak atasnya. Apakah akan menuntut qishash atau memaafkannya. Dan kalau
aku mati, maka biarkanlah ia menemaniku, untuk kuhadapi di hadapan pengadilan
Rabbul 'Alamin. Janganlah kalian membunuh selainnya karena menuntut balas atas
kematianku. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas."
Sekarang marilah kita kenang hari pembebasan Makkah. Setelah kaum
kafir Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiyah, tidak ada alasan lagi untuk
menahan Rasulullah dan pasukan Muslimin menduduki Makkah. Penduduk Mekkah kala
itu dirundung ketakutan yang teramat sangat mengingat apa yang telah mereka
lakukan terhadap Rasulullah. Bukankah mereka yang selama ini menganggapnya orang
gila dan telah menghasut orang-orang untuk memusuhinya? Bukankah mereka yang
mengejeknya, melempari dengan batu dan kotoran unta? Bukankah mereka yang telah
memboikot dia dan keluarganya, Bani Hasyim yang dianggap membangkang dari agama
leluhur? Bukankah mereka pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadapnya? Dan
bukankah mereka juga yang telah mengusirnya dari kota kelahirannya ini? Mereka
pernah menggempurnya habis-habisan dalam berbagai peperangan. Dan di antara
mereka juga ada dalang pembunuhan dan penganiayaan keji atas pamannya, Hamzah
bin Abdul Muthalib.
Rasanya tak ada lagi alasan untuk membela diri.
Sekarang, nyawa mereka terletak pada keputusan dan wewenang Muhammad SAW putra
Abdullah atas ribuan balatentara yang bersenjatakan lengkap dan siap
meluluhlantakkan Makkah. Mari kita dengar keputusan itu,
"Pergilah kamu
sekalian! Kamu sekarang sudah bebas!"
Dibebaskan? Bukan itu saja!
Rasulullah juga melarang keras pasukannya berbuat semena-mena terhadap penduduk
Makkah walaupun di antara mereka ada yang menyimpan rasa sakit hati terhadap
perlakuan orang Makkah dahulu.
Subhanallah! Betapa mudahnya orang-orang
ini membuka pintu maaf. Ali bukanlah malaikat. Rasulullah, walaupun diberi
beberapa keistimewaan oleh Allah SWT pada dasarnya tetap manusia biasa. Seperti
kita, mereka juga punya amarah. Betapa mudah sebetulnya Ali menyuruh Hasan atau
Husain r.a. untuk mendera Ibnu Muljam dengan derita. Toh, Ibnu Muljam juga
mengaku ingin menghabisinya. Melihat kebencian yang membara di mata anak-anak
dan teman-temannya, suami Fathimah r.a. ini sudah membayangkan bagaimana nasib
Ibnu Muljam seandainya dia meninggal nanti. Maka timbullah keinginan untuk
melindungi pembunuhnya itu dari qishash yang bisa saja berlebihan dan menyimpang
dari ajaran agama Islam.
Dan renungkanlah, ahli sejarah mencatat, hari
pembebasan Makkah adalah kemenangan besar yang diraih kaum muslimin yang sedikit
sekali menelan korban jiwa dan kerugian. Kenapa bisa demikian padahal kita tahu
bahwa orang-orang Mekkah itu yang paling bersemangat memusuhinya? Bahkan Hindun
binti 'Uthbah, istri Abu Sufyan yang menjadi arsitek pembunuhan Hamzah juga
dibiarkan hidup begitu saja. Peristiwa pada Hari Pembebasan Makkah hanyalah
salah satu dari sekian banyak bukti pemaafnya. Beliau memang tidak mengenal
permusuhan dan selalu bersikap sabar atas perlakuan musuh. Tapi itu tidak
berarti lari dan berdiam diri jika diserang oleh kaum kafir. Allah
memperbolehkan perang asalkan di jalan Allah dan tidak melampaui batas. Oleh
karena itu, Rasulullah tidak pernah memulai peperangan dan tidak pernah
menyerang musuh sebelum diserang terlebih dahulu. Beliau juga tidak pernah
membunuh orang yang sudah menyerah kalah.
Kita tentu pernah membaca
cerita tentang guru sekolah yang menyuruh murid-muridnya membawa kentang
sebanyak orang yang mereka benci. Selama seminggu, kentang-kentang itu harus
dibawa ke manapun mereka pergi, bahkan juga ke toilet. Hari berganti hari
kentang-kentang pun mulai membusuk. Murid-murid mulai mengeluh, selain berat,
baunya juga tidak sedap. Pada hari ke-7, murid-murid tersebut merasa lega karena
penderitaan mereka bisa berakhir.
Suasana hati kita bisa dianalogikan
dengan cerita kentang di atas. Jika hati tidak dibersihkan dari kebencian, kita
tidak akan bisa menjalani hidup dengan tentram dan selalu merasa ada beban yang
menghimpit. Air susu memang tidak boleh dibalas dengan air tuba. Air tuba pun
jangan sampai dibalas dengan air tuba, akan lebih baik dibalas dengan air susu.
Betapa indahnya hidup ini tanpa ada perasaan dendam dan benci yang menyelinap di
dalam hati.
Tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang luput
dari satu kesalahan pun. Jika kita disakiti, anggaplah itu sebagai ujian
kesabaran dari Allah yang akan mengangkat kita ke derajat yang lebih tinggi.
Terimalah permintaan maaf itu dengan keikhlasan yang bermuara pada Allah semata.
Allah Maha Adil pada ciptaan-Nya dan tentu membalas semua perbuatan baik kita
dengan balasan yang setimpal. Bukankah kita menginginkan ridha-Nya sebagai
balasan itu? Adakah yang lebih membahagiakan dibandingkan memperoleh ridha
Allah?
"Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas
(tanggungan) Allah." (Asy-Syura: 40)
Teman, apakah kita masih membawa
'kentang busuk' hari ini? Lebih baik dibuang saja.
Maafkanlah...
Allahu a'lam bish-showab.
0 komentar:
Posting Komentar