Selasa, 10 Juli 2012

Menjadi Pribadi Yang Ikhlas

Hati yang bersih akan melahirkan keikhlasan. Satu upaya batin yang hanya dengannya Allah akan menerima sebuah amalan. Hati yang bersihlah yang akan melahirkan pribadi-pribadi yang ikhlas. Pribadi yang hanya mengharapkan ridha Allah sebagai imbalan atas ibadahnya.

Namun setiap sesuatu yang bersih bisa jadi ternoda, begitu pun juga hati manusia. Kebersihan atau keikhlasan hati manusia sangat rentan dari noda-noda, yang karenanya akan mengganggu keikhlasan dalam pengabdian kepada Allah SWT. <br /> Puasa yang oleh Allah dikatagorikan sebagai peringkat ketiga obat penyakit hati setelah sholat dan zakat, adalah obat yang ampuh dalam memerangi kotoran-kotoran hati. Ibarat kolam, puasa merupakan tempat untuk membersihkan diri dari daki-daki yang melekat dalam hati manusia, yang akan mengganggu kebersihan hati tadi.

Kalau sebuah amalan ternodai keikhlasannya, maka amalan tersebut tidak diterima. Demikian pendapat ulama yang mengatakan bahwa syarat diterimanya sebuah amal ibadah adalah bila amal itu dilakukan dengan ikhlas mengharap ridha Allah semata, dan yang kedua adalah amalan itu dilakukan berdasarkan syariat yang telah ditentukan Allah atau pun sunnah dari Rasulullah Muhammad SAW.

Karena pada dasarnya keduanya merupakan hal yang saling berkaitan erat. Ikhlas merupakan amalan batin, sementara syariat atau sunnah Rasulullah adalah amalan zahir.

Sebagaimana sabda Rasulullah:

Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang dikerjakan dengan ikhlas karena Dia semata-mata dan dimaksudkan untuk mencari keridhaan-Nya (HR. Ibnu Majah).

Dari hadits Rasulullah diatas, memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa ikhlas merupakan faktor penentu dalam setiap amalan. Agar segala perbuatan yang dilakukan diterima oleh Allah. Ketika kita berniat untuk melakukan sebuah pekerjan, atau sebuah amalan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT misalnya, dan ternyata ketika melakukannya ada motivasi lain yang membangkitkannya, maka apa yang kita lakukan sebenarnya tidak lagi dalam konteks ikhlas.

Misalnya saja ketika melakukan puasa. Yang terlintas di pikiran kita adalah dengan puasa itu kita berharap akan mendapatkan perlindungan dan kekuatan bukan untuk bertaqqarub kepada Allah, maka puasa itu bisa jadi telah tercampur dengan unsur syirik.

Begitupun ketika melakukan sholat ,dan kemudian ternyata apa yang kita lakukan sesungguhnya karena keinginan mendapatkan pujian dari orang-orang yang melihat sholat kita, atau keinginan untuk dikatakan sebagai orang yang paling khusuk, maka ibadah kita telah tercemar dengan kotoran-kotaran hati yang sangat berbahaya,

Allah befirman:

" ... Dan apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud untuk riya' dengan sholat di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (Qs.An Nisaa':142)

Kecuali bila ketika kita melakukan ibadah puasa untuk bertaqarrub kepada Allah. Dan ternyata dengan puasa itu didapatkan perlindungan atau kekuatan, atau kesehatan yang semakin prima, bahkan kemudian dengan kesehatan yang prima itu kemudian bisa menambah kualitas dan kuantitas ibadah yang lain, maka insya Allah pahala yang didapat akan menjadi semakin berlipat.

Begitu mudahnya keikhlasan mengalami kontaminasi dengan penyakit yang lain, maka betul-betul dibutuhkan tajarrud (kesungguhan) dari pribadi-pribadi muslim untuk senantiasa mengevaluasi amalan-amalan yang akan, sedang dan telah dilakukannya, agar ujub atau riya' atau penyakit hati yang lainnya tidak merusak nilai-nilai amalan kita di hadapan Allah.

Ibnu Sa'ad menyebutkan dalam kitab Thabaqaat dari Umar Ibn Abdul Azis, bahwa bila beliau berkutbah di atas mimbar dan kemudian tiba-tiba terlintas dalam pikirannya keinginan untuk mendapat pujian dari orang lain atas kepandaiannya berbicara, maka beliau segera menghentikan pidatonya. Begitupun ketika beliau sedang menulis kitab dan takut akan rasa ujub terhadap dirinya sendiri, maka beliau segera merobeknya dan berkata, "Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekkan diriku sendiri."

Demikian berhati-hatinya ulama semacam Ibnu Sa'ad menjaga keikhlasan hatinya, pantas menjadi tauladan bagi setiap muslim yang berkeinginan menjadi seorang mukhlisin.Beliau menyadari betul bahwa penyakit hati smeacam riya' dan ujub akan mengotori keihlasan dalam beramal.Sehingga ketika perasaan itu muncul dengan serta merta beliau menghentikannya.

Rasulullah memberikan tauladan kepada kita berlindung kepada Allah atas penyakit hati itu dengan doa sebagai berikut:

"Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari mensekutukan-Mu, sesuatu yang kami tidak mengetahuinya dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari sesuatu yang kami tidak mengetahuinya."

Do'a ini juga merupakan sebuah upaya agar Allah SWT senantiasa meluruskan niatan kita, dan menjauhkan dari penyakit-penyakit hati yang berupa riya' yang juga dikenal sebagai syirik kecil, juga penyakit hati yang lain semacam ujub, yakni bangga terhadap diri sendiri.

Sabda Rasulullah:

Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik yang kecil. Sahabat bertanya: "apakah syirik yang kecil itu ya Rasulullah?". Rasulullah menjawab: "Riya" (HR. Ahmad).

Jangan sampai kita lengah terhadap adanya penyakit-penyakit hati yang senantiasa berlindung di dalam hati kita, karena adanya penyakit itu bisa menjadikan Allah tidak menerima amalan-amalan yang telah kita lakukan.

Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),seperti orang yang menafkahkan hartanya kepada manusia dan dia tidak berimana kepada Allah dan hari kemudian..." (Qs.2:264)

Insya Allah dengan menyadari betapa keikhlasan dalam beramal sangat mempengaruhi diterima tidaknya amalan ibadah kepada Allah. Dan sebaliknya, dengan adanya penyakit hati yang mengiringi setiap amalan akan merusak dan menghilangkan amalan itu sendiri di hadapan Allah, maka akan memberi motivasi kepada kita semuanya, untuk senantiasa berupaya menjadikan diri kita sebagai pribadi-pribadi yang mukhlish. Allahu a'lam bishowab.

0 komentar:

Posting Komentar